Sabtu, 17 September 2011

backpacker @Rhenald Kasali – Guru Besar Universitas Indonesia

Setiap saat mulai perkuliahan, saya
selalu bertanya kepada mahasiswa
berapa orang yang sudah memiliki
pasport. Tidak mengherankan,
ternyata hanya sekitar 5% yang
mengangkat tangan. Ketika ditanya
berapa yang sudah pernah naik
pesawat, jawabannya melonjak
tajam. Hampir 90% mahasiswa
saya sudah pernah melihat awan
dari atas. Ini berarti mayoritas anak-
anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan
dosen yang memberi tugas kertas
berupa PR dan paper, di kelas-kelas
yang saya asuh saya memulainya
dengan memberi tugas mengurus
pasport. Setiap mahasiswa harus
memiliki surat ijin memasuki dunia
global. Tanpa pasport manusia akan
kesepian, cupet, terkurung dalam
kesempitan, menjadi pemimpin
yang steril.
Dua minggu kemudian, mahasiswa
sudah bisa berbangga karena punya
pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi,
untuk apa pasport ini? Saya katakan,
pergilah keluar negeri yang tak
berbahasa Melayu. Tidak boleh ke
Malaysia, Singapura, Timor Leste
atau Brunei Darussalam. Pergilah
sejauh yang mampu dan bisa
dijangkau.
Uang untuk beli tiketnya bagaimana,
pak?
Saya katakan; saya tidak tahu.
Dalam hidup ini, setahu saya
hanya orang bodohlah yang
selalu memulai pertanyaan
hidup, apalagi memulai misi
kehidupan dan tujuannya dari
uang. Dan begitu seorang
pemula bertanya uangnya dari
mana, maka ia akan
terbelenggu oleh constraint
atau kendala. Dan hampir pasti
jawabannya hanyalah tidak ada
uang, tidak bisa, dan tidak
mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada
di kepala mahasiswa, melainkan
juga para dosen steril yang kurang
jalan-jalan. Bagi mereka yang tak
pernah melihat dunia, luar negeri
terasa jauh, mahal, mewah,
menembus batas kewajaran dan
buang-buang uang. Maka tak heran
banyak dosen yang takut sekolah ke
luar negeri sehingga memilih kuliah
di almamaternya sendiri. Padahal
dunia yang terbuka bisa
membukakan sejuta kesempatan
untuk maju. Anda bisa
mendapatkan sesuatu yang yang
terbayangkan, pengetahuan,
teknologi, kedewasaan, dan
wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan
seperti itu tak pernah ada di kepala
para pelancong, dan diantaranya
adalah mahasiswa yang dikenal
sebagai kelompok backpackers.
Mereka adalah pemburu tiket dan
penginapan super murah,
menggendong ransel butut dan
bersandal jepit, yang kalau
kehabisan uang bekerja di warung
sebagai pencuci piring. Perilaku
melancong mereka sebenarnya tak
ada bedanya dengan remaja-remaja
Minang, Banjar, atau Bugis, yang
merantau ke Pulau Jawa berbekal
seadanya. Ini berarti tak banyak
orang yang paham bahwa
bepergian keluar negeri sudah tak
semenyeramkan, sejauh, bahkan
semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah
yang saya dorong pergi jauh,
sekarang malah rajin bepergian. Ia
bergabung ke dalam kelompok PKI
(Pedagang Kaki Lima Internasional)
yang tugasnya memetakan
pameran-pameran besar yang
dikoordinasi pemerintah. Disana
mereka membuka lapak,
mengambil resiko, menjajakan
aneka barang kerajinan, dan
pulangnya mereka jalan-jalan, ikut
kursus, dan membawa dolar. Saat
diwisuda, ia menghampiri saya
dengan menunjukkan pasportnya
yang tertera stempel imigrasi dari 35
negara. Selain kaya teori, matanya
tajam mengendus peluang dan rasa
percaya tinggi. Saat teman-
temannya yang lulus cum-laude
masih mencari kerja, ia sudah
menjadi eksekutif di sebuah
perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The
Next Convergence, penerima hadiah
Nobel ekonomi Michael Spence
mengatakan, dunia tengah
memasuki Abad Ke tiga dari
Revolusi Industri. dan sejak tahun
1950, rata-rata pendapatan
penduduk dunia telah meningkat
dua puluh kali lipat. Maka kendati
penduduk miskin masih banyak,
adalah hal yang biasa kalau kita
menemukan perempuan miskin
lulusan SD dari sebuah dusun di
Madura bolak-balik Surabaya-
Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan
mahasiswa yang hanya sibuk demo
dan tak pernah keluar negeri
sekalipun. Jangankan ke luar negeri,
tahu harga tiket pesawat saja tidak,
apalagi memiliki pasport. Maka bagi
saya, penting bagi para pendidik
untuk membawa anak-anak
didiknya melihat dunia. Berbekal
lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD
dari Pontianak dapat diajak
menumpang bis melewati
perbatasan Entekong memasuki
Kuching. Dalam jarak tempuh
sembilan jam mereka sudah
mendapatkan pelajaran PPKN yang
sangat penting, yaitu pupusnya
kebangsaan karena kita kurang urus
daerah perbatasan. Rumah-rumah
kumuh, jalan berlubang, pedagang
kecil yang tak diurus Pemda, dan
infrastruktur yang buruk ada di
bagian sini. Sedangkan hal
sebaliknya ada di sisi seberang.
Anak-anak yang melihat dunia akan
terbuka matanya dan memakai
nuraninya saat memimpin bangsa
di masa depan. Di universitas
Indonesia, setiap mahasiswa saya
diwajibkan memiliki pasport dan
melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi
gembala sekaligus guide nya. Kami
menembus Chiangmay dan
menyaksikan penduduk miskin di
Thailand dan Vietnam bertarung
melawan arus globalisasi. Namun
belakangan saya berubah pikiran,
kalau diantar oleh dosennya, kapan
memiliki keberanian dan inisiatif?
Maka perjalanan penuh pertanyaan
pun mereka jalani. Saat anak-anak
Indonesia ketakutan tak bisa
berbahasa Inggris, anak-anak Korea
dan Jepang yang huruf tulisannya
jauh lebih rumit dan
pronounciation-nya sulit dimengerti
menjelajahi dunia tanpa rasa takut.
Uniknya, anak-anak didik saya yang
sudah punya pasport itu 99%
akhirnya dapat pergi keluar negeri.
Sekali lagi, jangan tanya darimana
uangnya. Mereka memutar otak
untuk mendapatkan tiket,
menabung, mencari losmen-
losmen murah, menghubungi
sponsor dan mengedarkan kotak
sumbangan. Tentu saja, kalau
kurang sedikit ya ditomboki
dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak
didik saya yang wajahnya ndeso
sekalipun kini dipasportnya tertera
satu dua cap imigrasi luar negeri.
Apakah mereka anak-anak orang
kaya yang orangtuanya mampu
membelikan mereka tiket? Tentu
Tidak. Di UI, sebagian mahasiswa
kami adalah anak PNS, bahkan tidak
jarang mereka anak petani dan
nelayan. Tetapi mereka tak mau
kalah dengan TKW yang meski tak
sepandai mereka, kini sudah pandai
berbahasa asing. Anak-anak yang
ditugaskan ke luar negeri secara
mandiri ternyata memiliki daya
inovasi dan inisiatif yang tumbuh.
Rasa percaya diri mereka bangkit.
Sekembalinya dari luar negeri
mereka membawa segudang
pengalaman, cerita, gambar dan
foto yang ternyata sangat
membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru
mulai membiasakan anak didiknya
memiliki pasport. Pasport adalah
tiket untuk melihat dunia, dan
berawal dari pasport pulalah
seorang santri dari Jawa Timur
menjadi pengusaha di luar negeri. Di
Italy saya bertemu Dewi Francesca,
perempuan asal Bali yang memiliki
kafe yang indah di Rocca di Papa.
Dan karena pasport pulalah,
Yohannes Surya mendapat bea
siswa di Amerika Serikat.
Ayo, jangan kalah dengan Gayus
Tambunan atau Nazaruddin yang
baru punya pasport dari uang
negara.
penulis :
Rhenald Kasali – Guru Besar
Universitas Indonesia
artikel dari : BPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar